A Man Called Otto: Tetangga Masa Gini?

Ge Seilatuw
4 min readFeb 1, 2023

--

Sumber foto: IMDb

Tahun 2019 kalau tidak salah saya beli novel garapan Fredrik Backman yang judulnya A Man Called Ove. Setahu saya saat itu versi filmnya sudah dirilis di Swedia dengan judul yang sama. Saya, sampai saat ini tidak mampu menamatkan buku yang masih tertata rapi di rak kamar di rumah ini. Tidak kuat. :)

Lalu sekitar bulan Desember tahun 2022 saya melihat trailer promosi film Ove versi Amerika di bioskop. “Tom Hanks is A Man Called Otto” begitu bunyi copy-nya. Mengingat saya tidak menamatkan buku atau film aslinya, sepertinya memang harus menyisihkan waktu dan duit untuk menonton film ini.

Tetangga Masa Gini?

Seperti film remake pada umumnya, ada beberapa aspek yang perlu diganti untuk menyesuaikan konteks. Baik itu konteks budaya atau kebiasaan yang lebih relevan dengan lingkungan di mana cerita itu dibangun. Ini termasuk mengubah nama Ove Lindahl menjadi Otto Anderson (Tom Hanks).

Otto adalah sosok kakek-kakek grumpy. Ini karakter yang cukup banyak ditemukan di beberapa plot cerita lain. Contohnya karakter Tuan Fredricksen dari film Up atau karakter Tony Johnson yang diperankan Ricky Gervais dalam serial After Life.

Meminjam istilah Amerika, karakter Otto ini bisa dibilang Karen versi laki-laki. Jenis tetangga yang menyebalkan. Punya tetangga macam Otto, interaksi yang saya lakukan sepertinya tidak akan lebih dari sekadar sapa dan senyum.

Otto taat aturan dan risih kalau ada yang serampangan dan suka melanggar. Orangnya detail, strik, mandiri, lugas, konsisten, dan akurat. Karakternya relevan dengan profil pekerjaannya sebagai seorang engineer. Kecuali fakta kalau dirinya tidak suka dengan robot yang menjawab telepon.

Ah, satu lagi yang tidak disukai Otto, “An idiot”. :)

Lidah Tidak Pernah Bohong

Bagi beberapa orang yang sudah menonton film ini, mereka mungkin akan menyebutkan bahwa duka ditinggal orang terkasih adalah konflik utama yang dihadapi Otto. Tapi menurut saya, konflik terbesar Otto adalah Marisol Mendes (Mariana Treviño). Seandainya tidak ada Marisol, maka film ini akan berakhir sebelum menit ke sepuluh.

Marisol adalah tetangga baru yang tinggal berseberangan dengan Otto. Perkenalan mereka diawali dengan tupperware merah berisi makanan Meksiko. Marisol pintar memasak, dan rasa masakannya bahkan diakui Otto yang bermulut pedas. Saya mulai menyukai karakter Otto saat melihat pria tua itu mengembalikan tupperware tersebut ke Marisol. Salah satu indikator tetangga baik adalah mengembalikan tupperware sebelum diminta.

Kalau Otto adalah awan mendung, Marisol adalah matahari di film ini. Karakter keduanya menyeimbangkan plot dan membangun suasana cerita dengan baik. Favorit saya adalah, setelah menjadi konflik bagi Otto dan rutinitas hariannya, Marisol juga menjadi pusat resolusi konflik Otto. A full circle it is.

Sepanjang Jalan Kenangan

Dengan karakter pemarah dan penuh komplain, sepanjang film bersama Otto rasa-rasanya dipenuhi dengan konflik terus. Baik itu konflik personal di dalam dirinya, dan konflik bersama para tetangganya (terutama Marisol). Menurut saya, konflik internal dan eksternal yang saling tabrak dalam cerita ini membuatnya relevan dan mudah dinikmati.

Setelah ditinggal meninggal sang istri, Sonya Anderson (Rachel Keller), Otto menjadi orang yang berbeda. Menit-menit awal karakter Otto terasa sangat menyebalkan bagi saya. Tapi plot maju-mundur yang memperlihatkan Otto muda dan istrinya membuat perasaan kesal itu lama-lama memudar.

Otto yang tidak ingin melepas kenangan dan kepergian sang istri, dengan Otto yang harus menerima kehadiran Marisol, suami Marisol (Tommy: Manuel Garcia-Rulfo) yang tidak jago parkir paralel, anak-anak mereka, Malcolm si loper koran (Mack Bayda), dan kucing liar.

Kenangan, kalau terlalu bagus atau terlalu buruk memang sulit untuk dibuang begitu saja. Tapi hidup dalam kenangan, rasanya seperti mati.

Kompor Gas!

Menggarap film remake bukan perkara mudah. Apalagi dibuat dari buku dan adaptasi film yang sudah jaya sebelumnya. Apakah versi garapan Hollywood ini adalah yang terbaik? Saya belum punya jawabannya. Tidak sebelum saya menonton versi aslinya, serta menamatkan bukunya. Tapi ada beberapa poin yang patut diancungi jempol dari versi garapan sutradara Marc Forster ini.

Perihal plot, saya suka ramuannya. Tidak hanya rumus flashback, tapi juga transisi dari konflik ke resolusi yang terjadi beberapa kali. Meski termasuk film “santai”, suasana menegangkan tetap terasa saat menonton. Bisa jadi karena Forster juga sering menggarap film-film laga.

Lalu soal casting. Tentu saja favorit saya adalah Mariana Treviño. Treviño begitu mendalami menjadi Marisol, sampai-sampai saya tidak merasa bahwa ia sedang berakting. Marisol adalah ibu-ibu kompleks pada umumnya yang mudah kamu temui di mana saja. Belum lagi fakta kalau anak kandung Tom Hanks juga ikut berperan di dalam film ini. Menarik bukan? :)

Saya sudah bersiap untuk fokus hanya pada plot dan penokohan saja sebelum menonton. Karena tipikal film drama-komedi, umumnya minim sekali sentuhan sinematiknya. Tapi, oh, saya sepertinya salah besar. Ada beberapa scene emosional di dalam film yang menurut saya sangat artistik pengambilan gambarnya. Terutama scene di ruang makan, plastik tipis, sinar matahari senja, Otto, dan senapan laras panjang.

Ternyata selain ceritanya, saya masih disuguhi pemandangan fotografis yang menyenangkan untuk dilihat.

Jangan Lupa Tisu!

Begitu film hampir berakhir, dan suara Otto terdengar, suasana di dalam studio terasa sepi. Penutupnya teduh dan menenangkan. Jenis epilog yang khas dan sebenarnya bukan hal yang baru, tapi tetap saja, selalu sukses membuat menangis.

Sebagai orang yang bertahun-tahun tinggal sendiri, liburan sendiri, pergi ke kedai kopi sendiri, bahkan nonton film ini pun sendiri, saya merasakan sesuatu yang familiar dalam film ini. Fakta masa tua yang kerap saya bincangkan dengan beberapa teman dekat. Satu masa di mana kita kemungkinan besar akan kembali hidup sendiri.

Pensiun, berhenti dengan rutinitas pekerjaan yang menyibukkan hari-hari kita. Mulai terlibat dengan hal-hal kecil di sekeliling kita. Mudah marah, mengisolasi diri dari lingkungan sosial, dan merasa masih cukup tangguh untuk melakukan semuanya sendiri. Masa tua sendiri, artinya orang-orang yang kita cintai sudah pergi mendahului kita. Untuk poin ini saya merasa sedikit memahami mengapa Otto ingin cepat-cepat menyusul Sonya.

Entah menghabiskan masa tua bersama cucu, di panti jompo, atau di rumah sendirian, saya harap kita bisa mendapat tetangga seperti Marisol. Ini artinya sesekali mendapat makanan enak, dan terlalu banyak perhatian. Karena Marisol akan sering mengetuk pintu untuk mengecek keadaan saya. Atau, mungkin saya bisa belajar menjadi Marisol.

Ya, begitu dari saya. Intinya, jangan lupa bawa tisu waktu nonton Otto Abuelo di bioskop. :)

--

--