Barbie: Stereotypically Unexpected
Bukan Barbie, tapi boneka serupa dengan kualitas rendah dan harga lebih terjangkau. Ini adalah versi Barbie yang saya ingat. Jika masih terlalu mahal, versi dua dimensinya juga ada. Karakter perempuan dalam kertas karton tebal, lengkap dengan baju-baju keren. Tinggal dipotong, dan kertas bongkar-pasang ini siap menemani jam-jam kosong setelah menyelesaikan pekerjaan rumah.
Mainan anak perempuan, begitu asosiasinya.
Saya mengira akan disajikan live-action Barbie tiga dimensi yang sering diputar di stasiun televisi saat libur sekolah. Tapi, ada campur tangan Greta Gerwig di film ini, sutradara dan penulis skenarionya. Tidak mungkin sekadar berdansa dengan pemecah kacang atau berubah menjadi angsa.
“Baby Dolls”
Entah benar atau tidak, monolog narator di pembuka film cukup memberikan sedikit petunjuk tentang sudut pandang film. Yakni cerita yang berporos pada multiperan ibu.
Barbie yang eksistensinya menggeser peran ibu menjadi ✨ibu✨.
Boneka bayi diproduksi untuk mendesain dan menyiapkan anak perempuan melakukan peran mereka sebagai ibu. Sebaliknya, boneka Barbie membantu anak perempuan melihat potensi diri mereka yang bisa menjadi siapapun, termasuk menjadi ibu yang sukses mencapai cita-cita.
Kira-kira seperti itu.
“Have You Think About Dying”
Konflik di dalam film dimulai saat Barbie (Margot Robbie) tidak lagi Barbie. Barbie didiagnosis mengalami malfungsi. Gejala awal dimulai saat Barbie mulai berpikir tentang kematian. Hal yang nampaknya tabu di Barbie Land.
Konflik yang lalu membawa Barbie (dan Ken) melintas ke Real World. Demi bertemu dengan pemilik Barbie, menemukan koneksi, dan berusaha memperbaiki semua malfungsi itu.
Terlihat seperti itu konfliknya. Tapi sebenarnya ini bukan tentang kaki datar atau munculnya selulit (mungkin ini termasuk, tapi ya).
Gerwig dan Noah Baumbach menggarap konflik sepele dengan menyisipkan banyak konflik-konflik yang lebih signifikan. Konflik realistis di dunia yang minim jambon dan rambut klimis.
Relasi ibu dan anak yang merenggang, dunia yang patriarkis dan minim femininitas — yang dalam konsepsi Barbie Land merujuk pada kekuatan dan ketangguhan. Hampir seperti menawarkan antidot dari maskulinitas. Lalu bagaimana citra laki-laki yang dibangun dalam karakter Ken yang terang-terangan merepresentasikan perempuan di Real World, penuh perjuangan dan agenda turun ke jalan.
“White Savior Barbie”
Puncak solusi yang dilakukan oleh Barbie dan Barbie-Barbie lainnya yakni dengan melakukan re-program. Mengembalikan para Barbie ke jati diri mereka masing-masing. Ini sangat stereotipikal, karena sepertinya semua cerita butuh pahlawannya masing-masing.
Ada banyak sebenarnya, plot di dalam film yang stereotipikal. Saya hampir yakin Gerwig dan Baumbach sengaja melakukannya, lalu memberi tembakan-tembakan kejutan kemudian.
Tidak perlu terlalu mendetail, karena saya sudah banyak membocorkan kejutannya. Tapi yang jelas film ini berakhir bahagia. Tidak hanya kebahagiaan untuk Barbie, tapi juga untuk Ken, dan sudah pasti Mattel.
Tapi bagi saya pribadi, seperti ada yang kurang. Resolusi dan konflik antara ibu dan anak tidak terlalu detail disorot di dalam film. Mungkin, mungkin saja, karena film ini berjudul Barbie, jadi poros cerita berevolusi pada Barbie tentu saja.
“Ask Your Mom”
Setelah babak puncak di dalam film diputar, teater jadi senyap. Kebanyakan dari kami yang adalah perempuan benar-benar diam, seperti tidak pernah tertawa-tawa beberapa detik sebelumnya.
Pada akhirnya Gerwig dan Baumbach ingin mengembalikan core atau jati diri Barbie itu sendiri. Barbie adalah hadiah dari ibu untuk anak perempuan mereka. Tipikal. Seperti ingin bilang kalau;
“Because Barbie can be anything. Women can be anything.”
Ada satu catatan penting dari saya. Barbie adalah film tentang perempuan, tapi bukan film perempuan. Ini adalah film yang juga penting untuk laki-laki.
Give it a go. :)