Monster: Kita Semua Monster
Singkat saja. Ada banyak monster di dalam film ini.
Monster yang memojokkan orang lain untuk mengakui kesalahan yang tidak ia lakukan. Murka dengan suara rendah, mengabaikan kebenaran, dan menekan semua orang untuk mendukungnya.
Monster yang tidak mendengar, tidak bertanya, tapi menuduh. Berasumsi sendiri. Menentukan sendiri siapa salah, siapa benar.
Monster yang mengurung kekasihnya sendiri. Monster yang menutup-nutupi kebenaran, mereka-reka cerita. Monster-monster kecil,merundung dan mengucilkan monster kecil lainnya.
Membayangkan dua anak-anak yang tumbuh tanpa bisa mengekspresikan dirinya, memvalidasi perasaan-perasaan, menikmati berteman, bertengkar, dan berbaikan kembali dengan terang-terangan. Monster-monster seperti kita yang membuat anak-anak tumbuh menjadi monster lain.
Kira-kira begitu perasaan saya selama menonton film garapan Hirokazu Kore-eda (Sutradara) dan Yuji Sakamoto (Penulis Skenario) ini. Bergulir lebih dari dua jam, tapi rasanya cepat saja. Penonton dibawa ke sana kemari. Bingung, marah, terpojok, malu, senang, kecewa, dan hancur bersama-sama.
Monster yang berusaha keras melindungi anaknya.
Monster yang mempertahankan kebenaran untuk dirinya.
Monster yang menjaga mimpinya.
Monster yang menjaga pekerjaannya, kelompoknya.
Monster-monster kecil yang tidak tahu apa-apa.
Anak-anak yang tumbuh dengan kepercayaan kalau dirinya adalah monster. Layak dihukum, dipukul, dan sudah seharusnya hidup sesuai arahan dan konsensus-konsensus yang dibangun masyarakat — monster-monster yang (katanya) “beradab”.
Sejauh ini hanya ada di CGV dan Cinepolis dengan jam tayang terbatas. Sempatkan menonton kalau kamu menikmati film drama dengan alur lambat, banyak penokohan, serta plot cerita tumpang-tindih.
Bagi saya, dari sisi cerita, penokohan, dan penampilan para aktor, Monster adalah film terbaik yang pernah saya tonton sejauh ini. Namun, film ini jelas bukan untuk semua orang. :)